Saturday, June 15, 2013

Alergi Makanan pada Bayi dan Balita

Alergi Makanan pada Bayi - Jika berbicara Mpasi, maka tidak lengkap rasanya jika tidak menyinggung soal alergi makanan pada bayi dan anak. Memang, alergi makanan merupakan salah satu masalah yang bisa dihadapi oleh anak dan bayi. Sekitar 20% anak usia 1 tahun pertama pernah mengalami reaksi terhadap makanan yang diberikan (adverse reactions), termasuk yang disebabkan oleh reaksi alergi. Sebetulnya semua makanan dapat menimbulkan reaksi alergi, akan tetapi antara satu makanan dengan makanan lain, mempunyai derajat alergenitas yang berbeda. Di Amerika, 1 dari 12 batita mengidap alergi makanan, serta sekitar 150 batita meninggal dunia setiap tahun karenanya. Di seluruh dunia, kasus alergi makanan pada anak meningkat sampai 2 kali lipat selama 10 tahun.

Untuk itulah maka baik jika mengenali alergi makanan tersebut terlebih dahulu, mengingat bahaya sekali jika sembarangan memberikan makanan pada anak, terutama makanan yang merupakan allergen tinggi.
Alergi makanan merupakan suatu reaksi klinis yang tidak diinginkan terhadap makanan secara imunologis. Berbagai jenis manifestasi klinik reaksi hipersensitivitas tipe I menurut Gell dan Coomb diantaranya adalah disebabkan reaksi alergi terhadap makanan.

Tubuh bayi maupun dewasa memiliki antibodi yang disebut IgE, yang merupakan protein pendeteksi zat makanan yang masuk ke dalam tubuh. Ketika zat makanan tertentu yang menyebabkan alergi masuk, antibodi ini akan melepaskan zat-zat seperti histamin.  Nah, inilah yang menyebabkan reaksi alergi, baik ringan maupun berat.

Ada banyak jenis reaksi yang ditimbulkan oleh makanan, dan kebanyakan masayarakat menyimpulkannya sebagai alergi makanan. Padahal tidak. Menurut The American Academy of Allergy and Immunology dan The National Institute of Allergy and Infections Disease, ada tiga jenis reaksi terhadap makanan, yaitu:

1. Adverse food reactions
Suatu istilah umum untuk suatu reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan yang ditelan. Reaksi ini dapat merupakan reaksi sekunder terhadap food allergy (hipersensitivitas) atau food intolerance (Intoleransi makanan).

2. Food Allergy
Istilah untuk suatu hasil reaksi imunologik yang menyimpang. Sebagian besar reaksi ini melalui reaksi hipersensitifitas tipe I (Gell & Coombs) yang diperani oleh IgE.

3. Food intolerance
Istilah umum untuk semua respons fisiologis yang abnormal terhadap makanan/aditif makanan yang ditelan. Reaksi ini merupakan reaksi non imunologik dan merupakan sebagian besar penyebab reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan. Reaksi ini mungkin disebabkan oleh zat yang terkandung dalam makanan seperti kontaminasi toksik (misalnya, histamin pada keracunan ikan, toksin yang disekresi oleh salmonella, shigela, dan campylobacter), zat farmakologik yang terkandung dalam makanan (misalnya, kafein pada kopi, tiramin pada keju) atau karena kelainan pada pejamu sendiri, seperti gangguan metabolisme (misalnya, defisiensi laktase) maupun suatu respons idiosinkrasi pada pejamu.

Jenis Makanan Pemicu Alergi
Ada 8 jenis makanan yang seringkali penyebab alergi makanan baik pada bayi atau orang dewasa.



•  Telur (ayam, bebek, telur puyuh)
Bagian telur, terutama putih telur, bisa menyebabkan reaksi alergi. Akibat yang ditimbulkan alergi telur biasanya berupa rasa gatal di sekujur tubuh. Kulit tampak kemerahan ataupun bengkak-bengkak.

•  Susu (sapi dan kambing)
Reaksi alergi yang ditimbulkan oleh susu sapi atau kambing bisa berupa diare atau muntah. Bila bayi alergi terhadap susu sapi atau turunannya, maka beberapa penangangan yang dilakukan oleh dokter anak umumnya akan menyarankan makanan yang terbuat dari protein susu sapi yang telah terhidrolisa sehingga tidak menimbulkan alergi pada bayi, atau menyarankan makanan dengan protein dari kedelai.

•  Kacang tanah
Protein nabati yang terdapat dalam kacang tanah termasuk tinggi. Beberapa makanan pendamping ASI yang mengandung kacang tanah dapat menyebabkan rasa gatal pada tubuh bayi, juga munculnya bisul-bisul dengan warna kemerahan pada area tangan dan wajah bayi.

•  Gandum
Alergi karena jenis makanan yang mengandung gandum seperti roti atau sereal, dapat mengakibatkan berbagai gejala alergi seperti gatal-gatal, sesak napas dan mual, termasuk reaksi alergi fatal yang disebut anafilaksis. Bagi bayi dengan alergi gandum, sebaiknya menghindari makanan yang mengandung gluten dan semolina. Sebagai alternatif, Ibu bisa menggunakan beras atau jagung.

•  Kacang kedelai
Alergi kedelai biasanya ditemukan pada bayi yang diberikan susu yang mengandung kedelai. Makanan lain yang mengandung protein kedelai dan dapat menimbulkan gejala alergi pada anak-anak adalah miso soup, saus kedelai, dan makanan yang mengandung minyak kedelai.

•  Kacang
Kacang yang tumbuh di pohon seperti kenari, kacang mede, dan pistasio. Reaksi alergi yang ditimbulkan serupa dengan reaksi alergi pada bayi yang mengonsumsi kacang tanah.

•  Ikan (tuna, salmon, cod)
Ikan dapat menyebabkan reaksi alergi pada sebagian bayi.  Oleh karena itu, Ibu sebaiknya jangan dulu memberi ikan pada bayi sebelum usianya mencapai 6 bulan karena masih dalam masa pemberian ASI eksklusif. Setelah usia bayi Ibu mencapai 8 atau 12 bulan, ikan bisa menjadi bagian dari menu yang seimbang.

•  Kerang-kerangan (termasuk lobster, udang, dan kepiting)
Gejala yang ditimbulkannya berupa urtikaria (gatal di kulit), angioedema (bengkak-bengkak), asma atau kombinasi dari beberapa kelainan tersebut. Alergi makanan karena ikan laut paling mudah terdeteksi karena gejala yang ditimbulkan relatif cepat. Biasanya kurang dari 8 jam keluhan alergi sudah bisa dikenali.

Gejala Alergi Makanan pada Anak
Tanda-tanda awal jika bayi atau anak memiliki alergi terhadap makanan tertentu, seperti berikut:

•    Perut bayi membesar (kembung), pupnya lebih cair atau mencret, dan buang air lebih sering dari biasanya, tetapi tidak disertai lendir atau darah.
•    Bayi lebih rewel karena rasa tidak nyaman pada organ pencernaannya.
•    Gatal, biduran, atau eksim pada kulit.
•    Batuk.
•    Muntah.
•    Nafas tersengal-sengal.
•    Bibir dan tenggorokan bengkak.
•    Mata bayi tampak merah dan berair.

Gejala-gejala awal seperti gatal-gatal, bengkak, atau kesulitan bernafas pada bayi biasanya muncul hingga dua jam setelah zat penyebab alergi dari makanan tertentu masuk ke dalam tubuh.  Perhatikan bayi Ibu ketika tanda-tanda awal ini terlihat, karena pada beberapa kasus alergi makanan pada bayi, hal ini dapat berlanjut menjadi sangat parah bila tidak segera ditangani.

Dalam beberapa kasus juga ditemukan gejala alergi pada pencernaan seperti muntah atau diare yang kronis dan diderita cukup lama oleh bayi hingga menimbulkan eksim pada kulit. Eksim adalah area kering pada kulit yang tampak seperti bercak kemerahan dan bersisik, yang muncul pada wajah, lengan, hingga area kaki bayi, namun tidak pada area popok.

Ada juga kasus dimana reaksi alergi karena makanan muncul pada bayi, walaupun makanan tersebut pernah diberikan kepada bayi sebelumnya dan tidak ada masalah alergi apapun. Jadi, bayi yang memiliki ataupun memiliki potensi alergi terhadap telur, misalnya, mungkin tidak akan menunjukkan reaksi alergi tertentu saat pertama kali mengonsumsi telur, namun setelah beberapa kali mengonsumsi, baru tampak gejala reaksinya.

Pengobatan dan pencegahan alergi makanan
Pengobatan yang paling penting pada alergi makanan ialah eliminasi terhadap makanan yang bersifat alergen. Terapi eliminasi ini seperti umumnya pengobatan lain mempunyai efek samping. Eliminasi yang ketat pada sejumlah besar jenis makanan, dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan malnutrisi atau kesulitan makan pada anak.

Umumnya alergi makanan akan menghilang dalam jangka waktu tertentu kecuali alergi terhadap kacang tanah dan sejenisnya serta hidangan laut. Dilaporkan bahwa anak yang menderita alergi makanan akan mengalami perbaikan dengan kehilangan reaktivitas terhadap makanan sekitar 25%, sedangkan pada usia dewasa akan mengalami perbaikan dengan kehilangan reaktivitas terhadap makanan selamanya. Dengan terapi diet yang ketat terhadap makanan alergen dalam beberapa tahun, alergi makanan dapat saja menghilang, akan tetapi bukan tidak mungkin akan timbul masalah malnutrisi atau gangguan makan yang lain. Oleh karena itu di upayakan untuk memberi makanan pengganti yang tepat.

Beberapa terhadap makanan seperti antihistamin, H1 dan H2, ketotifen, kortikosteroid serta inhibitor sistetase prostaglandin. Secara keseluruhan, pemberian obat obat ini dapat mengendalikan gejala, akan tetapi umumnya mempunyai efisiensi yang rendah. Penggunaan natrium kromoglikat peroral banyak diteliti, tetapi hasilnya masih bertentangan. Pemberian imunoterapi pada alergi makanan belum jelas hasilnya. Sampai sekarang belum ada studi yang memadai untuk membuktikan hasil imunoterapi pada alergi makanan.
Secara umum, ada 3 tahap pencegahan terjadinya penyakit alergi yaitu pencegahan primer (sebelum terjadi sensitisasi), pencegahan sekunder (sudah terjadi sensitisasi tetapi belum terjadi penyakit alergi) serta pencegahan tersier (sudah terjadi penyakit alergi misalnya dermatitis, tetapi belum terjadi penyakit alergi lain misalnya asma). Pencegahan primer dilakukan dengan diet penghindaran makanan hiperalergenik sejak trimester kehamilan. Sayangnya pada pencegahan primer ini belum ada cara yang tepat untuk menilai keberhasilannya. Pencegahan sekunder dilakukan dengan penentuan dan penghindaran jenis makanan yang menyebabkan penyakit alergi. Pencegahan tersier biasanya ditambah dengan penggunaan obat seperti misalnya pemberian setirizin pada dermatitis atopik untuk mencegah terjadinya asma di kemudian hari.

Pemberian ASI ekslusif dilaporkan, dapat mencegah penyakit atopik serta alergi makanan. Akan tetapi para ahli alergi masih memperdebatkan efektifitasnya. Walaupun demikian sebagian besar peneliti berpendapat bahwa dengan melakukan penghindaran makanan alergen pada ibu hamil dan menyusui serta pada bayi usia dini dengan resiko tinggi terjadinya penyakit atopik, ternyata dapat bermanfaat mencegah terjadinya alergi makanan/penyakit atopik dikemudian hari. Pendekatan moderen secara nutrisi misalnya dengan pemberian fraksi peptida dari protein spesifik yang ditoleransi usus misalnya pemberian formula susu hipoalergenik atau penggunaan komponen spesifik makanan sehari-hari seperti asam lemak dan antioksidan untuk mencegah terjadinya sensitisasi pada anak yang mempunyai risiko alergi. Pemberian probiotik dapat diberikan sebagai imunomodulator untuk merangsang sel limfosit Th1 pada anak yang mempunyai bakat alergi.

Pencegahan yang paling penting adalah dengan menelusuri  ada atau tidaknya riwayat alergi dalam keluarga. Semakin banyak anggota keluarga yang mengidap alergi, semakin besar pula risiko anak Anda menderita hal serupa.Selain itu, untuk memantau adanya reaksi alergi, Mommy bisa menerapkan aturan 4 Day wait Rule atau 4DR kepada bayi.

Ada 3 penyebab dari alergi makanan, yakni riwayat genetik, adanya ketidakmatangan saluran pencernaan, dan paparan makanan yang bersifat alergen terlalu dini. Catatan: Kedua penyebab pertama tersebut akan membaik ketika anak berusia 2-7 tahun.

Strategi lain untuk menghindari alergi adalah menunda pemberian makanan padat hingga si kecil berusia 6 bulan. Penelitian menemukan, hal ini terbukti bisa mengurangi risiko anak terserang alergi makanan. Bagi ibu menyusui, meski sejumlah penelitian menyatakan tingkat efektivitasnya tidak terlalu besar, mengurangi asupan makanan yang bersifat alergen dari menu sehari-hari bisa membantu menjauhkan anak dari paparan makanan alergen.


sumber: IDAI, parenting.co.id, bebeclub.co.id, wholesomebabyfood.com

No comments:

Post a Comment